Kematian Adik Ku Karena Aku

Image

Malam itu hujan mengguyur kota Bandung dengan derasnya. Gemercik suaranya seperti nyanyian rindu langit pada bumi, lembut mendayu, namun airnya deras menghanyutkan harapan ku untuk meniti malam bersama seorang gadis yang belum lama aku kenal.

Di sela waktu istirahat perjalanan touring dari Yogyakarta menuju Bandung, aku dan rekan sempat beberapa kali menginap di hotel. Di hotel kota terakhir tujuan touring, Bandung, di Aston Primera Pasteur, aku menghabiskan tiga per empat malam dengan berbincang berdua di sebuah restoran di sudut ruang megah dengan aksen kayu dan aluminium. Sebuah paduan sempurna manakala temaram lampu hias yang memancarkan cahaya keemasan membalut ruang itu.

Dua cangkir kopi, seporsi chicken wings dan segelas strawberry milkshake, menemani perbincangan ku dengan teman yang baru setahun aku kenal, Erica, namanya.

Perbincangan tentang hidup, sungguh nikmat untuk dibagi. Aku seperti ada di lorong waktu yang bisa aku kendalikan kemana aku akan tiba bersama kisah-kisah hidup kami berdua. Aku merasa seperti barada di dalam sebuah ruangan dengan suguhan panorama kehidupan yang bergerak dinamis, kadang melambat bahkan kadang seperti terhenti. Hingga suatu titik saat hari berada di batas abu-abu antara malam dan pagi, aku menanyakan tentang berapa saudara yang dia miliki. “Aku anak pertama dari tiga bersaudara, dua perempuan dan satu laki-laki,” jawabnya lembut. “Tapi adik terakhir ku yang laki sudah pergi untuk selamanya, bang,” lanjutnya pelan dengan suara parau.

Innalillahi.. kenapa?” tanya ku.

Dia terjatuh dari atap rumah tetangga ku saat main layang-layang,” jawabnya dengan suara yang semakin berat.

Saat itu aku bisa merasakan kesedihan mendalam di hatinya. Air mukanya tak bisa menyembunyikan kesedihan. Dan aku bisa menyaksikan jelas duka itu dari matanya. Dengan sedikit senyuman dari bibir tipisnya, dia berusaha menyembunyikan kesedihan itu dari ku.

Tapi dia tak bisa membohongi dirinya sendiri, sudut mata yang mulai digenangi air mata tak mungkin berdusta.

Dengan berat hati aku coba bertanya apa yang sebenarnya terjadi dengan adiknya, Rengga. Walau dalam hati ku sesungguhnya ingin mengalihkan pembicaraan agar dia tak terbenam dalam kesedihan masa lalunya. Tapi sayang, kalimat tanya itu terlontar sebelum aku perintahkan.

Semua itu salah ku,” ucapnya lemah.

Salah mu? Memang kenapa?” balas ku bertanya.

Dengan setengah menahan tangis, dia menceritakan kisah itu. Bibirnya bergetar kuat menahan tangis. Kata demi kata terangkum menjadi sebuah cerita pedih yang membuatnya menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab kepergian Rengga untuk selamanya. Bahkan hingga saat ini, dia masih menyalahkan dirinya.

Dia mengisahkan pada ku, beberapa hari sebelum kejadian itu, Rengga meminta dirinya untuk tak pergi. Rengga berharap dirinya bisa menemaninya di malam pesta ulang tahunya yang ke-9. “Saat itu aku mau pergi kerja. Sebagai mahasiswi S2 yang sambil bekerja adalah sebuah kenikmatan karena bisa mendapatkan uang dari jerih payah sendiri.

Beberapa hari sebelum peristiwa memilukan itu, Rengga meminta ku untuk ada dan menemaninya saat malam pesta ulang tahunnya. Tapi aku tak bisa memenuhi permintaannya. Sebelum aku pergi di siang itu, di rumah hanya ada aku dan Ega (sapaan Rengga). Karena aku sedang menikmati pekerjaan baru ku, aku terpaksa meninggalkannya sendiri.

Saat dia meninggalkan Rengga sendiri, tak sedikit pun terbesit di pikirannya akan terjadi hal buruk. Bahkan saat dia sedang bekerja sekali-pun, semua berjalan baik-baik saja. “Tiba-tiba aku menerima telpon dari kakak ku dan berkata kalau adik ku terjatuh dari atap rumah tetangga saat main layang-layang.

Bagai tersambar petir, sekelilingnya seperti lenyap, pikirannya hanya ada adik tercintanya. “Aku tak bisa berfikir jernih kala itu. Aku tak bisa melihat apa yang ada di sekelilingku. Yang aku lihat hanya baying wajah adik ku sebelum aku meninggalkannya.

Tanpa banyak berfikir aku langsung meninggalkan pekerjaanku. Sambil mengumpulkan segenap kekuatan, aku langsung pergi ke rumah sakit tempat adik ku dirawat.

Setibanya di rumah sakit ternyata Rengga sudah dalam kondisi koma.

Saat aku tiba di rumah sakit, Rengga sudah koma. Kakak ku menceritakan kondisi terakhir Rengga sebelum dibawa ke rumah sakit. Dia mengerang menahan sakit di kepala bagian kanannya. Aku tak tahan mendengarnya. Dan aku tau itu, dia pasti sangat kesakitan, walau tak ada tampak luka di luar kepalanya.

Rengga mengalami luka dalam di kepala akibat benturan saat terjatuh. Klinik terdekat menyarankan agar adiknya dibawa ke rumah sakit besar untuk diperiksa luka dalam di kepalanya.

Para pekerja medis di Instalasi Gawat Darurat bekerja cepat. Sambil berusaha menahan ronta tubuh mungil Rengga yang menahan sakit, para pekerja medis berusaha untuk memberikan pertolongan secepat dan sebaik mungkin.

Rasa sakit yang teramat sangat, rupanya membuat Rengga tak bisa menahan sadarnya lebih lama. Saat itu juga Rengga dinyatakan koma. Beberapa hari di masa koma nya, kondisi Rengga dinyatakan kritis hingga detak jantungnya terhenti.

Lebih dari 10 menit, Rengga terbaring di atas ranjang rumah sakit tanpa detak jantung. Tim dokter terus berusaha menolongnya dengan melakukan resuistasi dengan memberikan kejutan listrik pada dada Rengga. Dokter sesungguhnya tak mau memaksakan untuk terus menggunakan mesin kejut pemicu jantung mengingat usia Rengga yang masih di bawah 10 tahun, namun karena keluarga memaksa, dokter pun terus melakukannya. Usaha itu tak sia-sia. Aliran do’a yang terus keluar dari mulut para keluarga, jantung Rengga kembali berdetak. Namun dia tetap dalam kondisi koma.

Beberapa hari berselang, kondisi Rengga dinyatakan mulai membaik hingga tim dokter pun berani mengambil tindakan untuk melakukan operasi kepala Rengga.

Operasi sudah dilakukan namun Rengga masih saja berada dalam kondisi tak sadarkan diri. Bahkan beberapa kali kondisinya kembali dinyatakan kritis.

Dua bulan berlalu. Tubuh mungil itu terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan selang dan kabel di sekujur tubuhnya yang membantunya bertahan hidup.

Segala upaya dilakukan orang tuanya agar sang adik bisa kembali pulih seutuhnya. Biaya yang tak sedikit, membuat orang tuanya harus menjual beberapa barang berharga, termasuk mobilnya.

Selama itu, aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali menyalahkan diri ku sendiri,” aku Erica.

Hampir habis harta terjual, namun kondisi Rengga tak juga ada perubahan. Selama masa perawatan Rengga, dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menyendiri di dalam kamar dan sesekali mengunjungi Rengga, memandang penuh harap ke wajah mungil yang terbaring itu.

Andai waktu bisa diputar, mungkin dia akan memutarnya ke masa dimana sang adik memintanya untuk tak pergi.

Setelah dua bulan berlalu, kondisi adik ku dinyatakan banyak mengalami kemajuan untuk sembuh. Tapi di masa dia dinyatakan mengalami kemajuan, tiba-tiba kondisinya drop dan kembali kritis hingga akhirnya Rengga benar-benar maninggalkan kami.

Waktu itu, apapun akan dilakukan keluarga ku demi kesembuhan adik ku meski kami harus kehilangan rumah kami. Yang penting adikku bisa kembali.

Tapi Rengga sudah pergi meninggalkan sepenggal cerita indah dalam kehidupannya. Di usia ke-9 tahun, Rengga meninggalkan keluarga tercinta untuk selamanya.

Aku tak bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri. Bahkan hingga detik ini setelah empat tahun berlalu, aku masih menyalahkan diriku sendiri. Kematian adik ku karena aku,” sesalnya.

Aku tak mau terus mendengarkan ceritanya. Tapi aku tak punya kalimat untuk mengalihkan pembicaran. Aku hanya tertegun haru sambil menahan sedih. Aku tak mampu menatap matanya yang berkaca-kaca…

Photo: Google

About Go Jay
Motivator Diri Sendiri

2 Responses to Kematian Adik Ku Karena Aku

  1. ardiantoyugo says:

    hiks hiks… terharu Om… 😥

Leave a reply to ardiantoyugo Cancel reply